Lima Faedah Puasa Syawal
Alhamdulillah,
kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah
mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di
bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah
yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca pada kesempatan kali
ini. Semoga bermanfaat.
Faedah
pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun
penuh
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal,
maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no.
1164, dari Abu Ayyub Al Anshori)
Para
ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena
setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan
Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama
sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di
bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60
hari = 2 bulan). (Lihat Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al
Islam, Asy Syamilah) Jadi seolah-olah jika seseorang
melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di
bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh.
Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul
Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat
satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal] (QS. Al An’am
ayat 160).” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban,
dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007) Satu kebaikan
dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan
yang paling minimal. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani,
3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al
Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H)
Cara
melaksanakan puasa Syawal adalah:
- Puasanya dilakukan selama enam hari.
- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Faedah
kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat
menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib
Yang
dimaksudkan di sini bahwa puasa
syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang
ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah
rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa
Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali
ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam
puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan
amalan sunnah. (Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al
Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H
[Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas])
Faedah
ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan
puasa Ramadhan
Jika
Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba,
maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah
menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan
amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.
Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf, “Di antara balasan
kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan
adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H
[Tafsir Surat Al Lail])
Ibnu
Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya,
”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya.
Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan
kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang
pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu
malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda
tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah
dilakukan.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 394)
Renungkanlah!
Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan
(rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu
begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan
diterima?!
Al
Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ’Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi
fatwa Saudi Arabia) mengatakan, ”Adapun orang yang melakukan puasa
Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka
orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian
salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah
(rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena
itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak
melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan
orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah
melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban
shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama
yang paling kuat.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts
Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102,
10/139-141) Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah
keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada
Allah
Nikmat
apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak
di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan
puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya
ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan
malam lailatul qadar di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu
Rajab mengatakan, ”Tidak ada nikmat yang lebih besar dari
pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.” (Latho-if Al Ma’arif,
hal. 394) Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang
banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka
bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta
beliau yaitu ’Aisyah radhiyallahu ’anha mengenai shalat
malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan, ”Tidakkah
aku senang menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari no.
4837 dan Muslim no. 2820)
Ingatlah
bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya
sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu
nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it
sya’ir yang cukup bagus: ”Jika syukurku pada nikmat Allah adalah
suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur
dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu
Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Setiap nikmat Allah berupa nikmat
agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah
disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu
nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua.
Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat
yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur
akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk
mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah
apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk
bersyukur (secara sempurna).” (Lihat Latho-if Al Ma’arif,
hal. 394-395)
Faedah
kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu
dan bukan musiman saja
Amalan
yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah
Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus
selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian
manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan
Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa
dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan
semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan
puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi,
apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ’ied, maka
itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan
puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada
sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan
Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka, “Sejelek-jelek orang
adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya
orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat
malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab
atau Sya’ban saja.
Asy
Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab
ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan
janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba
Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan
hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan,
”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”
Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan
jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
’Alqomah
pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau
mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah
menjawab, ”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk
beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”
(HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783)
Amalan
seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al
Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah
menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain
kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah (yang artinya), ”Dan
sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).”
(QS. Al Hijr: 99). (Latho-if Al Ma’arif, hal. 398) Ibnu
’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al
yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu
sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna
ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya
mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah
kepada Allah selamanya, sepanjang hidup. (Lihat Zaadul Masiir,
Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah)
Sebagai
penutup, kami sampaikan nasehat berharga dari Ibnu Rajab:
”Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di
antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk
melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya
suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan
ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya
melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan
tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah
melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah
melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan.
Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek
dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada
Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan
mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”
(Latho-if Al Ma’arif, hal. 399)
Semoga Allah senantiasa memberi taufik
kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput.
Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan
memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa
Syawal. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar